Bab 1: Anak Ajaib dari Gang Tembok Retak
Di bawah panas terik matahari KotaGG, suara sepatu menghantam bola menggema di antara tembok-tembok kumuh yang penuh coretan. Di lapangan kecil yang lebih mirip lapangan basket terbengkalai itu, seorang anak berusia 16 tahun sedang menari bersama bola.
"Raka! Jangan terlalu gaya, passing dong!" teriak temannya.
Tapi Raka hanya tersenyum. Ia menghadapi tiga lawan yang mencoba merebut bola darinya. Dalam satu gerakan cepat, ia mengecoh satu lawan dengan nutmeg, memutar badan, dan mengelabui dua lainnya dengan rainbow flick. Penonton yang berdiri di pinggir lapangan pun bersorak. "WOOOOY! Itu dia anak GG!"
Raka. Nama yang sudah mulai jadi legenda lokal. Setiap turnamen antar kampung, setiap laga tarkam, nama itu terus bergema. Tapi bagi Raka, itu belum cukup. Ia ingin lebih. Ia ingin dunia tahu... bahwa dari kota kecil yang sering diremehkan, bisa lahir raja sepak bola sejati.
Bab 2: Surat Undangan dan Sepatu Bolong
Sore itu, angin lembut menyapu wajah Raka yang masih duduk di pinggir lapangan. Keringatnya sudah mengering, tapi hatinya belum tenang. Di tangannya, selembar kertas yang baru saja dikasih oleh pelatih tarkam langganan mereka—Om Gito, mantan pemain Liga 2 yang kini jadi pelatih sukarela di kampung.
"Seleksi Akademi Garuda Muda. Terbuka untuk pemain muda usia 15–17 tahun. Lokasi: Jakarta. Tanggal: 10 April. Disediakan asrama dan beasiswa bagi yang terpilih."
"Raka, ini kesempatanmu," kata Om Gito sambil menepuk pundaknya. "Kalau kamu gak ikut seleksi ini, kamu bakal nyesel seumur hidup."
Raka cuma mengangguk. Bukan karena gak mau. Tapi karena otaknya langsung dipenuhi oleh satu hal: uang. Tiket ke Jakarta? Makan di sana? Sepatu bolanya aja udah hampir copot solnya.
Malam itu, di rumah sederhana di gang sempit KotaGG...
"Ibu, Raka ditawari ikut seleksi di Jakarta," kata Raka pelan sambil menyerahkan kertas undangan.
Ibunya yang sedang melipat pakaian terdiam. Lama. Lalu tersenyum. "Raka, kamu tahu kan keadaan kita sekarang..."
Raka menunduk. "Iya, Rak tahu."
Tapi yang membuatnya kaget, ibunya bangkit, membuka laci tua di kamar, dan mengeluarkan kaleng kecil dari bawah tumpukan baju. Isinya recehan, lembaran ribuan yang diselip-selipkan dari hasil jualan kue.
"Ini bukan buat Raka jajan, ini tabungan Ibu buat mimpi Raka. Mungkin belum cukup, tapi kita cari cara. Kita harus coba."
Keesokan harinya...
Raka berdiri di depan toko sepatu bekas. Matanya tertuju pada satu pasang sepatu Adidas lama—usang, tapi masih utuh. Harganya? Semua tabungan ibunya pas banget.
Sambil memegang sepatu itu, ia membatin,
"Mungkin ini bukan sepatu termahal... Tapi kaki ini bakal bawanya ke tempat tertinggi."
Raka kembali ke lapangan dengan semangat baru. Dia tahu, langkahnya menuju mimpi baru saja dimulai.
Bab 3: Lapangan Baru, Musuh Baru
Jam lima pagi, kabut tipis masih menyelimuti KotaGG. Tapi di terminal kecil yang sepi, Raka berdiri dengan ransel lusuh di punggung dan sepatu bekas tergantung di tangan. Ia menatap ke arah bus tua yang akan membawanya ke Jakarta, kota yang hanya ia kenal lewat TV dan cerita-cerita.
"Ibu doain kamu dari sini, Nak," kata ibunya sambil menahan air mata.Raka tersenyum, meski matanya juga mulai berkaca. "Raka gak akan pulang sebelum bikin Ibu bangga."
Delapan jam kemudian...
Jakarta.
Bising, ramai, dan panas. Bangunan tinggi menjulang seperti raksasa. Orang-orang berjalan cepat seperti sedang dikejar waktu. Tapi Raka cuma memikirkan satu hal: lapangan seleksi Akademi Garuda Muda.
Setelah sempat nyasar dua kali dan bertanya ke lima orang, akhirnya ia tiba di lapangan seleksi. Tempat itu lebih mirip stadion mini, lengkap dengan tribun kecil dan pelatih-pelatih berjaket akademi yang matanya tajam seperti elang.
Di antara puluhan anak muda yang datang dari berbagai penjuru, Raka merasa... kecil.
"Woy, liat tuh bocah kampung. Sepatunya antik banget."
Suara itu datang dari seorang pemain yang tampak mencolok. Postur tinggi, rambut cepak undercut, dan jersey klub elite lokal. Namanya Davin, anak Jakarta Selatan, pemain akademi elit yang sudah sering ikut turnamen nasional.
"Lo dari mana, Bro? KotaGG? Hahaha... Kota Game Gagal?" ejek Davin sambil tertawa bersama teman-temannya.
Raka menunduk, tapi tidak karena malu. Dia hanya mengencangkan tali sepatunya.
"Biar mulut mereka nyala, kaki gue yang bakal bicara."
Sesi pertama dimulai.Latihan teknik dasar. Passing, dribbling, kontrol bola.
Raka terlihat beda. Sentuhan bolanya halus, gerakannya alami, dan visinya jauh di atas rata-rata. Bahkan salah satu pelatih sempat bisik-bisik sambil menunjuk ke arah Raka.
"Anak itu siapa? Bukan dari akademi manapun, tapi punya naluri kayak pemain senior."
Davin yang melihat itu mulai kesal. Ia pun sengaja menghajar Raka saat duel satu lawan satu.
DOR! Raka terjatuh.
"Ups, sorry Bro. Bola gue lepas," kata Davin sok santai.
Tapi Raka bangkit. Ia tidak membalas. Di dalam kepalanya hanya ada satu hal:
"Gue gak datang jauh-jauh buat ribut. Gue datang buat lolos."
Sore itu, pelatih mengumumkan siapa yang lolos ke hari kedua.
"Nomor 7, Raka dari KotaGG... Lolos."
Semua menoleh. Davin melirik tajam. Tapi Raka? Dia cuma berdiri tenang, menatap langit Jakarta yang mulai gelap.
Langit boleh mendung, tapi impian Raka baru saja mulai bersinar.
📌 To be continued...
Mau lanjut ke Bab 4? Di sana, Raka bakal berhadapan langsung dengan Davin dalam latihan taktik tim. Bisa juga kita tambah konflik baru—mungkin ada pelatih yang meremehkannya, atau dia bertemu teman baru yang diam-diam jadi kunci keberhasilannya. Gimana, mau lanjut? 😎